Saturday, July 16, 2016

couch mode print story

POLITIK HUKUM DI INDONESIA (Pemikiran Politik Moh. Mafhud MD)


POLITIK HUKUM DI INDONESIA
PEMIKIRAN POLITIK MAHFUD MD


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Indonesia sebagai negara yang berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945 dan proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Ir. Soekarno dan Moh Hatta atas nama bangsa Indonesia merupakan detik-detik penjebolan tertib hukum sekaligus detik pembangunan tertib hukum nasional (Tatanan Hukum Nasional). Walapun tertib hukum berasal dari warisan kolonial. Dengan demikian arah cita-cita bangsa Indonesia yang tercermin dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 pada alenia keempat dan menjadi landasan dasar negara Indonesia yakni pancasila.
Seiring berjalannya waktu pembangunan tertib hukum mengalami banyak perubahan, disebabkan tatanan hukum nasional indonesia merupakan hasil warisan dari masa penjajahan kolonial yang di rasa tertib hukum berbeda dengan keadaan bangsa Indonesia. Untuk itu dalam perkembangannya perlu adanya perubahan sehingga perlu adanya politik hukum, dimana politik hukum akan menjadi kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan di bentuk.
Untuk membentuk negara tertib akan hukum indonesia perlu adanya politik hukum yang baik pula, sehingga membentuk suatu kebijakan yang merakyat. Aturan hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan dimana peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau sub sistem dari sistem hukum maka dalam membentuk peraturan perundang-undangan pada hakikatnya tidak dapat di pisahkan dari pembahasan politik hukum. Walapun pada dasarnya bentuk hukum/ struktur hukum di indonesia mengenal dua jenis bentuk hukum yakni hukum secara tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Dimana Hukum tidak tertulis adalah ketentuan-ketentuan yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan atau dinamika masyarakat. Contohnya adalah hukum adat, norma dan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Sedangkat hukum yang tertulis adalah hukum yang di bentuk oleh suatu negara dan di kodifikasikan yang terwujud di dalam peraturan perundang-undangan.
Ada pernyataan yang berkembang dalam masyarakat seperti “hukum sebagai produk politik” dalam pandangan awam, hukum dapat menjadi persoalan, sebab pernyataan tersebut memposisikan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan yang ditentukan oleh politik. Dalam pernyataan “hukum sebagai produk politik” akan menjadi salah, jika das sollen atau jika hukum tidak di artikan sebagai undang-undang. Seperti di ketahui bahwa hubungan antara hukum dan politik bisa didasarkan pada pandangan das sollen (keinginan, keharusan) atau das sein (kenyataan). Begitu hukum dapat diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang mencangkup UU dan dapat pula diartikan sebagai putusan pengadilan atau bisa di beri arti lain yang jumlahnya bisa puluhan makna.
Jika seseorang menggunakan das sollen adanya hukum sebagai dasar mencari kebenaran ilmiah dan memberi arti hukum diluar undang-undang maka pernyataan “hukum merupakan produk politik” tentu tidak benar. Mungkin yang benar “politik merupakan produk hukum” bahkan saja keduanya tidak benar jika dipergunakan asumsi dan konsep yang lain lagi yang berdasar pada das sollen-sein seperti asumsi tentang interdeterminasi antara hukum dan politik. Di dalam asumsi yang disebutkan terakhir ini dikatakan bahwa hukum dan politik saling menpengaruhi, tak ada yang lebih unggul. Jika politik diartikan sebagai kekuasaan maka dari asumsi yang terakhir ini bisa lahir pertanyaan seperti yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, bahwa “politik dan hukum itu interdeterminan” sebab “politik tanpa hukuk itu zalim, sedangkan hukum tanpa politik itu lumpuh”.[1]
Oleh sebab itu dalam makalah ini akan membahas tentang politik hukum di indonesia pemikiran Moh Mahfud MD dimana pemikiran ini bertolak dari disertasi beliau di universitas Gajah Mada dengan judul asli perkembangan politik hukum, studi tentang pengaruh konfigurasi politik terhadap karakter produk hukum di indonesia dimana ingin menjelaskan secara akademik situasi dan kondisi indonesia dengan menggunakan asumsi bahwa hukum merupakan produk politik. dengan  asumsi ini maka dalam menjawab hubungan antar keduanya itu hukum dipandang sebagai dependent variable (variable terpengaruh), sedangkan politik di letakkan sebagai independent variable (variable berpengaruh). Peletakan hukum sebagai variable yang tergantung atas politik atau politik yang determinan atas hukum itu mudah di pahami dengan melihat realitas, bahwa pada kenyataannya hukum dalam artian sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal yang imperatif) merupakan kristalisasi dalam kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan.
Sidang parlemen yakni DPR bersama pemerintah untuk membuat undang-undang sebagai produk hukum pada hakikatnya merupakan adegan kontestasi agar kepentingan dan aspirasi semua kekuatan politik dapat terakomodasi dalam keputusan politik dan menjadi undang-undang. Undang-undang yang lahir dari kontestasi tersebut dengan mudah dapat dipandang sebagai produk dari adegan kontestasi politik itu.[2]

B.     Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas, maka makalah yang berjudul “Politik Hukum di Indonesia : Pokok Pemikiran Moh. Mahfud  MD” merumuskan poko-pokok permasalahan sebagai berikut :
1.      Apa itu politik hukum di Indonesia?
2.      Bagaimana pokok pemikiran Moh. Mahfud MD mengenai politik hukum di Indonesia?



PEMBAHASAN
A.    Politik Hukum di Indonesia
a.       Pengertian Politik Hukum
Banyaknya definisi atau pengertian mengenai politik hukum yang di berikan oleh pakar atau ahli hukum memberikan nuansa keanekaragaman pemikiran oleh ahli hukum. Perbedaan tersebut karena adanya proses pengalaman dan kehidupan pendidikan yang berbeda, namun hal ini menjadikan definisi yang lebih kaya akan pengertian politik hukum.
Menurut Padmo Wahjono, Pengertian Politik Hukum adalah kebijakan penyelenggara negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun isi daripada hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dengan demikian, Pengertian Politik Hukum menurut Padmo Wahjono berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa yang akan datang (ius constituendum).
Pengertian Politik hukum menurut Teuku Mohammad Radhie ialah sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.
Adapun pendapat dari Soedarto (Ketua Perancang Kitab Undang-undang Hukum Pidana), Pengertian politik Hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki dan juga diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Pada bukunya yang lain "Hukum dan Hukum Pidana", Pengertian politik hukum merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.[3]
Satjipto Rahardjo[4] memberikan definisi Politik Hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Dari berbagai pengertian atau definisi tersebut, dengan mengambil subtansi yang secara sama Moh. Mahfud MD mengemukakan bahwa politik hukum adalah “Legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara”[5]
Namun untuk memahami lebih dalam tentang definisi politik hukum secara harfiah atau etimologi bahwa istilah politik hukum merupakan terjemahan dari bahasa belanda “Recht Politiek” yang di terjemahkan dalam bahasa indonesia berarti politik hukum. Walapun dalam istilah belanda terdapat istilah “rechts politiek” (politik hukum) dan “politiek rechts” (hukum politik). Menurut Van Der Tas berpendapat bahwa politik itu di artikan sebagai belied atau policy yang diterjemahkan dalam bahasa indonesia berarti kebijakan. Hal ini yang menjadi dasar dalam mengambil suatu tindakan. Kebijakan yang di artikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang dijadikan garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan dalam bertindak.[6] Sedangkan Hukum diartikan sebagai seperangkat norma atau kaidah yang mengatur tingkah laku manusia yang di dalamnya mengandung perintah dan larangan serta sanksi.[7]
Prof. Hene Van Harsen juga berpendapat “politiek recht alsopvalger van het staatrecht” yang berarti politik hukum sebagai pelanjut hukum tata negara.[8]

b.      Pengaruh Politik terhadap hukum
Politik kerap kali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum sehingga muncul juga pernyataan berikutnya mengenai subsistem mana antara hukum dan politik dan politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif. Dan pernyataan-pernyataan lain yang lebih spesifik pun dapat mengemuka seperti bagaimana pengaruh politik terhadap hukum, mengapa banyak intervensi hukum, jenis sistem politik yang bagaimana yang dapat melahirkan produk hukum yang berkarakter.
Politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, mencangkup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Disini hukum tidak hanya dapat dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat das sollen, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan (das sien) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnyamaupun dalam implementasi dan penegakannya.[9]

B.     Kerangka Pemikiran Politik Hukum Mahfud MD
a.       Hukum sebagai produk politik
Berangkat dari pernyataan Sri Sumantri Martosuwignjo dalam makalahnya yang berjudul “Pembangunan Hukum Nasional dalam Perspektif Kebijaksanaan” mengemukakan hubungan antara politik dan hukum di indonesia ibarat perjalanan lokomotif  kereta api yang keluar dari relnya. Jika hukum di ibaratkan rel dan politik di ibaratkan lokomotif maka seiring terlihatnya lokomotif itu keluar dari rel yang seharusnya dilalui[10].
Dari pandangan lain sehubungan dengan kuatnya energi politik dalam berhadapan dengan hukum, Dahrendorf dapat memperjelas mengapa hukum menjadi cermin dari kehendak pemegang kekuasaan atau identik dengan kekuasaan. Dahrendorf mencantat ada enam ciri kelompok dominan atau kelompok pemegang kekuasaan politik. Pertama, jumlahnya selalu lebih kecil dari jumlah kelompok yang dikuasai. Kedua, memiliki kelebihan kekayaan khusus untuk tetap memelihara dominasinya berupa kekayaan materiel, intelektual dan kehormatan moral. Ketiga, dalam pertentangan selalu terorganisasi lebih baikdaripada kelompok yang ditundukkan. Keempat, kelas penguasa hanya terdiri dari orang-orang yang memegang posisi dominan dalam bidang politik sehingga elit penguasa diartikan sebagai elit penguasa dalam bidang politik. Kelima, kelas penguasa selalu berupaya memonopoli  dan mewariskan kekuasaan politiknya kepada kelas/ kelompoknya sendiri. Keenam, ada reduksi perubahan sosial terhadap perubahan komposisi kelas penguasa.[11]
Jika menggunakan asumsi dasar bahwa hukum sebagai produk politik penulis akan mencoba menggambarkan secara sketsa, lihat gambar. [mohon maaf gambar blm tersedia]


 Dari tabel diatas menggambarkan politik digambarkan sebagai variable bebas dan hukum sebagai variable terpengaruh, dengan pernyataan hipotesis yang lebih spesifik dapat di kemukakan bahwa konfigurasi politik suatu negara akan melahirkan karakter produk hukum dinegara tersebut. Didalam negara yang konfigurasi poliktiknya bersifat demokratis, maka produk hukumnya akan bersifat responsif / populistik[12], sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya bersifat otoriter maka produk hukumnya bersifat ortodoks/ konservatif/ elitis[13]. Perubahan konfigurasi politik dari demokratis kepada otoriter atau sebaliknya, maka akan berimplikasi pada perubahan karakter hukum suatu negara.

b.      Kerangka dasar Politik Hukum
Menurut Mahfud politik hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian cita-cita dan tujuan[14]. Dengan arti ini, maka politik hukum nasional harus berpijak pada kerangka dasar, sebagai berikut :
  1. Politik hukum nasional harus selalu mengarah pada cita-cita bangsa, yakni masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
  2. Politik hukum nasional harus ditujukan untuk mencapai tujuan negara, yakni: (a) melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, (b) memajukan kesejahteraan umum, (c) mencerdaskan kehidupan bangsa, (d) melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
  3. Politik hukum harus dipandu oleh nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, yakni: (a) berbasis moral agama, (b) menghargai dan melindungi hak-hak asasi manusia tanpa diskriminasi, (c) mempersatukan seluruh unsur bangsa dengan semua ikatan primordialnya, (d)  meletakkan kekuasaan dibawah kekuasaan rakyat, (e) membangun keadilan sosial.
  4. Agak mirip dengan butir 3, jika dikaitkan dengan cita hukum negara Indonesia, politik hukum nasional harus dipandu oleh keharusan untuk; (a) melindungi semua unsur bangsa demi integrasi atau keutuhan bangsa yang mencakup ideologi dan teritori, (b) mewujudkan keadilan sosial dalam ekonomi dan kemasyarakat, (c) mewujudkan demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (kedaulatan hukum), (d) menciptakan toleransi hidup beragama berdasar keadaban dan kemanusian.
  5. Untuk meraih cita dan mencapai tujuan dengan landasan dan panduan tersebut, maka sistem hukum nasional yang harus dibangun adalah sistem hukum Pancasila, yakni sistem hukum yang mengambil atau memadukan berbagai nilai kepentingan, nilai sosial, dan konsep keadilan ke dalam satu ikatan hukum prismatik dengan mengambil unsur-unsur baiknya


c.       Konsepsi dan konfigurasi politik hukum di Indonesia
Menurut Mahfud MD, produk hukum yang responsif/populistik merupakan produk hukum yang mencerminakan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Sebab dalam proses pembuatanya memberikan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu dalam masyarakat dan hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat. Sedangkan produk hukum yang ortodoks/konservatif/elitis akan membentuk produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elite politik, dimana lebih mencerminakn keinginan pemerintah yang bersifat positivis-instrumentalis yakni menjadi alat pelaksanaan ideology dan program Negara. Hukum yang ortodoks tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-indovidu di dalam masyarakat yang dalam pembuatanya peranan dan partitispasi masyarakat relatif kecil[15].
Dilihat dari fungsinya, hukum yang berkarakter responsif dan bersifat aspiratif memuat materi-materi yang secara umum sesuai dengan aspirasi atau kehendak masyarakat yang dilayaninya. Sehingga sebuah produk hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dan kehendak masyarakat. Sedangkan produk hukum yang bersifat ortodoks/elitis bersifat posistivis-instrumentalis, memuat materi yang lebih merefleksikan visi sosial dan politik pemegang kekuasaan atau memuat meteri yang lebih merupakan alat untuk mewujudkan kehendak dan kepentingan program pemerintah[16].

 Mahfud MD juga menggambarkan secara gamblang menganai perjalanan politik dan hukum di indonesia dari hubungan konfigurasi politik dengan karekter produk hukum di indoensia. Lihat Tabel Matrik.[17][mohon maaf gambar blm tersedia]

Dari tabel di atas cukup jelas menggambarkan bahwa periode awal kemerdekaan yang di pimpin soekarno yang di sebut dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal membawa dampak konfigurasi politik yang demokratis dengan kecenderungan produk hukumnya lebih mengarah kepada hukum responsif, baik dari segi penyelenggaraan pemilu, pada pemerintahan daerah dan peraturan perundangan-undangan agraria.
Sedangkan pada periode kedua yakni pada periode demokrasi terpimpin konfigurasi politiknya bersifat otoriter dengan kecenderungan karakter produk hukum yang bersifat ortodoks/ responsif/ elitis, namun dalam alasan tertentu dapat bersifat responsif. Dari tabel ketiga pada periode orde baru menggambarkan konfigurasi politik bersifat otoriter dengan sistem demokrasi pancasila namun kecenderungan karakter produk hukum masih bersifat ortodoks/ responsif/ elitis karena sistem pemerintahannya hanya di jadikan sebagai perisai.
Walapun dari tabel diatas menunjukkan konfigurasi politik dengan karakter produk hukum, namun mahfud MD tidak melanjutkan dengan efektifitas hukum, sehingga masalh ini perlu ditelaah lebih lanjut mengenai fungsi hukum, karena konfigurasi politik dan produk hukum belum memiliki makna yang berarti bagi kehidupan masyarakat tanpa adanya fungsi hukum. Oleh karena itu setelah dicermati ternyata baik konfigurasi politik maupun karakter produk hukum tidak menjamin adanya efektifitas fungsi hukum. Konfigurasi politik otoriter dengan produk hukum ortodok sama-sama terjadi pada era orde lama maupun orde baru namun menunjukkan pada fungsi hukum yang berbeda-beda. Lebih dari pada itu pada orde lama produk hukum yang responsif dan pada era orde baru dengan produk hukum yang ortodok dipandang dari segi efektifitas fungsi hukum orde baru lebih efektif dari pada orde lama. [18]



PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian di atas maka penulis mengambil kesimpulan bahwa politik hukum adalah Legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.
Hukum merupakan produk politik, dengan  asumsi ini maka hukum dipandang sebagai dependent variable (variable terpengaruh), sedangkan politik di letakkan sebagai independent variable (variable berpengaruh). Peletakan hukum sebagai variable yang tergantung atas politik atau politik yang determinan atas hukum itu mudah di pahami dengan melihat realitas, bahwa pada kenyataannya hukum dalam artian sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal yang imperatif) merupakan kristalisasi dalam kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan.
Mahfud Md juga menggambarkan konfigurasi politik di indonesia yang di mulai dari awal indonesia merdeka dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal kemudian dilanjutkan demokrasi terpimpin hingga orde baru yang memiliki karakter produk hukum yang berbeda-beda, yakni produk hukum responsif, ortodok dan elitis. Dimana produk hukum tersebut masih jauh dari angan-angan cita-cita berdirinya bangsa indonesia karena pada kenyataannya fungsi hukum yang berjalan di masyarakat berbeda outputnya.

B.     Saran
Masih banyak yang harus diperbaiki dengan adanya reformasi sistem baik berupa sistem pemerintahan, sistem hukum dan budaya hukum. Jika semua terintegrasi dengan baik dan benar, maka politik hukum di indonesia akan semakin membaik dan cita-cita masyarakat indonesia yang adil dan makmur akan segera terlaksana, Wallahu A'lam.
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, karena bahan-bahan yang di dapat masih jauh dari cukup untuk membuat tulisan ilmiah, namun harapan penulis makalah ini dapat dijadikan sebagai modal untuk diskusi kelompok. Terimakasih.



Daftar Pustaka

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia Ed. Revisi, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, Cet. 6
Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta : Rajawali Pers, 2010
Sacjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. Cet ke 6. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada. 2004.
Sri Sumantri, Achmad Fauzi, Materi Kuliah Politik Hukum, Semarang : diterbitkan oleh Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945. 2013
Sri Sumantri Martosuwignjo, Pembangunan Hukum Nasional dalam Perspektif Kebijaksanaan, Makalah praseminar Identitas Hukum Nasional, di Fakultas Hukum UII Yogyakarta, tanggal 19-21 Oktober 1987
Ralf Dahrendorf, Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri, Jakarta: Rajawali, 1986
http://www.hukumsumberhukum.com/ 2014 / 06/ apa – itu – pengertian – politik - hukum.html
http://agusogick.blogspot.co.id/ 2010/03/ karakter –produk – hukum – sebagai - produk.html

http://kbbi.web.id/ diakses pada tanggal 13 juli 2016


[1] Moh. Mahfud, Politik Hukum di Indonesia Ed. Revisi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), Cet. 6, hlm. 5
[2] Ibid. Hlm. 10
[3] Di akses dalam internet http://www.hukumsumberhukum.com/2014/06/apa-itu-pengertian-politik-hukum.html#_  pada tanggal 13 juli 2016. Lihat juga dalam buku : Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2004. Dasar-dasar Politik Hukum. Penerbit PT Rajagrafindo Persada: Jakarta.
[4] Sacjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. Cet ke 6 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 352
[5] Moh. Mahfud MD, Op. Cit. Hlm. 1
[6] KBBI online diakses dari situs http://kbbi.web.id/ pada tanggal 13 juli 2016
[7] KBBI online diakses dari situs http://kbbi.web.id/ pada tanggal 13 juli 2016
[8] Sri Sumantri, Achmad Fauzi, Materi Kuliah Politik Hukum, (Semarang : diterbitkan oleh Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945. 2013) halm. 1
[9] Moh. Mahfud MD, Op. Cit. Hlm. 9-10
[10] Sri Sumantri Martosuwignjo, Pembangunan Hukum Nasional dalam Perspektif Kebijaksanaan, Makalah praseminar Identitas Hukum Nasional, di Fakultas Hukum UII Yogyakarta, tanggal 19-21 Oktober 1987, hlm 6.
[11] Ralf Dahrendorf, Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri, (Jakarta: Rajawali, 1986), hlm 238-246. Dalam catatannya dahrendorf merangkum karya dari tiga sosiolog yakni: Vilfredo, Algeimene Soziologie, yang diterjemahkan oleh Mosca, Pareto dan Aron.
[12] Produk hukum responsif/ populistik adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat.  Di akses dari internet http://agusogick.blogspot.co.id/ 2010/03/karakter-produk-hukum-sebagai-produk.html
[13]  Produk hukum ortodoks/ konservatif/ elitis adalah produk hukum yang mencerminkan visi sosial elit politik , lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat positivis instrumentalis, yakni yakni menjadi alat pelaksana ideologi dan program negara. Lihat Mahfud Md, Politik Hukum di Indonesia, Op. Cit. hal. 32
[14] Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hlm. 31
[15] Moh Mahfud,Politik Hukum…. op.cit., hlm. 31-32
[16] Ibid., hlm. 32
[17] Tabel Sri Sumantri Martosuwignjo, Op. Cit. hal 57
[18] Sri Sumantri Martosuwignjo, ibid. hal. 57

Written by aturhukum[dot]com, Terimakasih telah membaca mohon tinggalkan komentar. Kunjungi Page follow Kami pada sosial media kami email kami




0 comments:
Post a Comment