Saturday, July 16, 2016

couch mode print story

POLITIK HUKUM DI INDONESIA (Pemikiran Politik Moh. Mafhud MD)


POLITIK HUKUM DI INDONESIA
PEMIKIRAN POLITIK MAHFUD MD


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Indonesia sebagai negara yang berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945 dan proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Ir. Soekarno dan Moh Hatta atas nama bangsa Indonesia merupakan detik-detik penjebolan tertib hukum sekaligus detik pembangunan tertib hukum nasional (Tatanan Hukum Nasional). Walapun tertib hukum berasal dari warisan kolonial. Dengan demikian arah cita-cita bangsa Indonesia yang tercermin dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 pada alenia keempat dan menjadi landasan dasar negara Indonesia yakni pancasila.
Seiring berjalannya waktu pembangunan tertib hukum mengalami banyak perubahan, disebabkan tatanan hukum nasional indonesia merupakan hasil warisan dari masa penjajahan kolonial yang di rasa tertib hukum berbeda dengan keadaan bangsa Indonesia. Untuk itu dalam perkembangannya perlu adanya perubahan sehingga perlu adanya politik hukum, dimana politik hukum akan menjadi kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan di bentuk.
Untuk membentuk negara tertib akan hukum indonesia perlu adanya politik hukum yang baik pula, sehingga membentuk suatu kebijakan yang merakyat. Aturan hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan dimana peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau sub sistem dari sistem hukum maka dalam membentuk peraturan perundang-undangan pada hakikatnya tidak dapat di pisahkan dari pembahasan politik hukum. Walapun pada dasarnya bentuk hukum/ struktur hukum di indonesia mengenal dua jenis bentuk hukum yakni hukum secara tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Dimana Hukum tidak tertulis adalah ketentuan-ketentuan yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan atau dinamika masyarakat. Contohnya adalah hukum adat, norma dan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Sedangkat hukum yang tertulis adalah hukum yang di bentuk oleh suatu negara dan di kodifikasikan yang terwujud di dalam peraturan perundang-undangan.
Ada pernyataan yang berkembang dalam masyarakat seperti “hukum sebagai produk politik” dalam pandangan awam, hukum dapat menjadi persoalan, sebab pernyataan tersebut memposisikan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan yang ditentukan oleh politik. Dalam pernyataan “hukum sebagai produk politik” akan menjadi salah, jika das sollen atau jika hukum tidak di artikan sebagai undang-undang. Seperti di ketahui bahwa hubungan antara hukum dan politik bisa didasarkan pada pandangan das sollen (keinginan, keharusan) atau das sein (kenyataan). Begitu hukum dapat diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang mencangkup UU dan dapat pula diartikan sebagai putusan pengadilan atau bisa di beri arti lain yang jumlahnya bisa puluhan makna.
Jika seseorang menggunakan das sollen adanya hukum sebagai dasar mencari kebenaran ilmiah dan memberi arti hukum diluar undang-undang maka pernyataan “hukum merupakan produk politik” tentu tidak benar. Mungkin yang benar “politik merupakan produk hukum” bahkan saja keduanya tidak benar jika dipergunakan asumsi dan konsep yang lain lagi yang berdasar pada das sollen-sein seperti asumsi tentang interdeterminasi antara hukum dan politik. Di dalam asumsi yang disebutkan terakhir ini dikatakan bahwa hukum dan politik saling menpengaruhi, tak ada yang lebih unggul. Jika politik diartikan sebagai kekuasaan maka dari asumsi yang terakhir ini bisa lahir pertanyaan seperti yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, bahwa “politik dan hukum itu interdeterminan” sebab “politik tanpa hukuk itu zalim, sedangkan hukum tanpa politik itu lumpuh”.[1]
Oleh sebab itu dalam makalah ini akan membahas tentang politik hukum di indonesia pemikiran Moh Mahfud MD dimana pemikiran ini bertolak dari disertasi beliau di universitas Gajah Mada dengan judul asli perkembangan politik hukum, studi tentang pengaruh konfigurasi politik terhadap karakter produk hukum di indonesia dimana ingin menjelaskan secara akademik situasi dan kondisi indonesia dengan menggunakan asumsi bahwa hukum merupakan produk politik. dengan  asumsi ini maka dalam menjawab hubungan antar keduanya itu hukum dipandang sebagai dependent variable (variable terpengaruh), sedangkan politik di letakkan sebagai independent variable (variable berpengaruh). Peletakan hukum sebagai variable yang tergantung atas politik atau politik yang determinan atas hukum itu mudah di pahami dengan melihat realitas, bahwa pada kenyataannya hukum dalam artian sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal yang imperatif) merupakan kristalisasi dalam kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan.
Sidang parlemen yakni DPR bersama pemerintah untuk membuat undang-undang sebagai produk hukum pada hakikatnya merupakan adegan kontestasi agar kepentingan dan aspirasi semua kekuatan politik dapat terakomodasi dalam keputusan politik dan menjadi undang-undang. Undang-undang yang lahir dari kontestasi tersebut dengan mudah dapat dipandang sebagai produk dari adegan kontestasi politik itu.[2]

B.     Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas, maka makalah yang berjudul “Politik Hukum di Indonesia : Pokok Pemikiran Moh. Mahfud  MD” merumuskan poko-pokok permasalahan sebagai berikut :
1.      Apa itu politik hukum di Indonesia?
2.      Bagaimana pokok pemikiran Moh. Mahfud MD mengenai politik hukum di Indonesia?



PEMBAHASAN
A.    Politik Hukum di Indonesia
a.       Pengertian Politik Hukum
Banyaknya definisi atau pengertian mengenai politik hukum yang di berikan oleh pakar atau ahli hukum memberikan nuansa keanekaragaman pemikiran oleh ahli hukum. Perbedaan tersebut karena adanya proses pengalaman dan kehidupan pendidikan yang berbeda, namun hal ini menjadikan definisi yang lebih kaya akan pengertian politik hukum.
Menurut Padmo Wahjono, Pengertian Politik Hukum adalah kebijakan penyelenggara negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun isi daripada hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dengan demikian, Pengertian Politik Hukum menurut Padmo Wahjono berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa yang akan datang (ius constituendum).
Pengertian Politik hukum menurut Teuku Mohammad Radhie ialah sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.
Adapun pendapat dari Soedarto (Ketua Perancang Kitab Undang-undang Hukum Pidana), Pengertian politik Hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki dan juga diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Pada bukunya yang lain "Hukum dan Hukum Pidana", Pengertian politik hukum merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.[3]
Satjipto Rahardjo[4] memberikan definisi Politik Hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Dari berbagai pengertian atau definisi tersebut, dengan mengambil subtansi yang secara sama Moh. Mahfud MD mengemukakan bahwa politik hukum adalah “Legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara”[5]
Namun untuk memahami lebih dalam tentang definisi politik hukum secara harfiah atau etimologi bahwa istilah politik hukum merupakan terjemahan dari bahasa belanda “Recht Politiek” yang di terjemahkan dalam bahasa indonesia berarti politik hukum. Walapun dalam istilah belanda terdapat istilah “rechts politiek” (politik hukum) dan “politiek rechts” (hukum politik). Menurut Van Der Tas berpendapat bahwa politik itu di artikan sebagai belied atau policy yang diterjemahkan dalam bahasa indonesia berarti kebijakan. Hal ini yang menjadi dasar dalam mengambil suatu tindakan. Kebijakan yang di artikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang dijadikan garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan dalam bertindak.[6] Sedangkan Hukum diartikan sebagai seperangkat norma atau kaidah yang mengatur tingkah laku manusia yang di dalamnya mengandung perintah dan larangan serta sanksi.[7]
Prof. Hene Van Harsen juga berpendapat “politiek recht alsopvalger van het staatrecht” yang berarti politik hukum sebagai pelanjut hukum tata negara.[8]

b.      Pengaruh Politik terhadap hukum
Politik kerap kali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum sehingga muncul juga pernyataan berikutnya mengenai subsistem mana antara hukum dan politik dan politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif. Dan pernyataan-pernyataan lain yang lebih spesifik pun dapat mengemuka seperti bagaimana pengaruh politik terhadap hukum, mengapa banyak intervensi hukum, jenis sistem politik yang bagaimana yang dapat melahirkan produk hukum yang berkarakter.
Politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, mencangkup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Disini hukum tidak hanya dapat dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat das sollen, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan (das sien) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnyamaupun dalam implementasi dan penegakannya.[9]

B.     Kerangka Pemikiran Politik Hukum Mahfud MD
a.       Hukum sebagai produk politik
Berangkat dari pernyataan Sri Sumantri Martosuwignjo dalam makalahnya yang berjudul “Pembangunan Hukum Nasional dalam Perspektif Kebijaksanaan” mengemukakan hubungan antara politik dan hukum di indonesia ibarat perjalanan lokomotif  kereta api yang keluar dari relnya. Jika hukum di ibaratkan rel dan politik di ibaratkan lokomotif maka seiring terlihatnya lokomotif itu keluar dari rel yang seharusnya dilalui[10].
Dari pandangan lain sehubungan dengan kuatnya energi politik dalam berhadapan dengan hukum, Dahrendorf dapat memperjelas mengapa hukum menjadi cermin dari kehendak pemegang kekuasaan atau identik dengan kekuasaan. Dahrendorf mencantat ada enam ciri kelompok dominan atau kelompok pemegang kekuasaan politik. Pertama, jumlahnya selalu lebih kecil dari jumlah kelompok yang dikuasai. Kedua, memiliki kelebihan kekayaan khusus untuk tetap memelihara dominasinya berupa kekayaan materiel, intelektual dan kehormatan moral. Ketiga, dalam pertentangan selalu terorganisasi lebih baikdaripada kelompok yang ditundukkan. Keempat, kelas penguasa hanya terdiri dari orang-orang yang memegang posisi dominan dalam bidang politik sehingga elit penguasa diartikan sebagai elit penguasa dalam bidang politik. Kelima, kelas penguasa selalu berupaya memonopoli  dan mewariskan kekuasaan politiknya kepada kelas/ kelompoknya sendiri. Keenam, ada reduksi perubahan sosial terhadap perubahan komposisi kelas penguasa.[11]
Jika menggunakan asumsi dasar bahwa hukum sebagai produk politik penulis akan mencoba menggambarkan secara sketsa, lihat gambar. [mohon maaf gambar blm tersedia]


 Dari tabel diatas menggambarkan politik digambarkan sebagai variable bebas dan hukum sebagai variable terpengaruh, dengan pernyataan hipotesis yang lebih spesifik dapat di kemukakan bahwa konfigurasi politik suatu negara akan melahirkan karakter produk hukum dinegara tersebut. Didalam negara yang konfigurasi poliktiknya bersifat demokratis, maka produk hukumnya akan bersifat responsif / populistik[12], sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya bersifat otoriter maka produk hukumnya bersifat ortodoks/ konservatif/ elitis[13]. Perubahan konfigurasi politik dari demokratis kepada otoriter atau sebaliknya, maka akan berimplikasi pada perubahan karakter hukum suatu negara.

b.      Kerangka dasar Politik Hukum
Menurut Mahfud politik hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian cita-cita dan tujuan[14]. Dengan arti ini, maka politik hukum nasional harus berpijak pada kerangka dasar, sebagai berikut :
  1. Politik hukum nasional harus selalu mengarah pada cita-cita bangsa, yakni masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
  2. Politik hukum nasional harus ditujukan untuk mencapai tujuan negara, yakni: (a) melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, (b) memajukan kesejahteraan umum, (c) mencerdaskan kehidupan bangsa, (d) melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
  3. Politik hukum harus dipandu oleh nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, yakni: (a) berbasis moral agama, (b) menghargai dan melindungi hak-hak asasi manusia tanpa diskriminasi, (c) mempersatukan seluruh unsur bangsa dengan semua ikatan primordialnya, (d)  meletakkan kekuasaan dibawah kekuasaan rakyat, (e) membangun keadilan sosial.
  4. Agak mirip dengan butir 3, jika dikaitkan dengan cita hukum negara Indonesia, politik hukum nasional harus dipandu oleh keharusan untuk; (a) melindungi semua unsur bangsa demi integrasi atau keutuhan bangsa yang mencakup ideologi dan teritori, (b) mewujudkan keadilan sosial dalam ekonomi dan kemasyarakat, (c) mewujudkan demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (kedaulatan hukum), (d) menciptakan toleransi hidup beragama berdasar keadaban dan kemanusian.
  5. Untuk meraih cita dan mencapai tujuan dengan landasan dan panduan tersebut, maka sistem hukum nasional yang harus dibangun adalah sistem hukum Pancasila, yakni sistem hukum yang mengambil atau memadukan berbagai nilai kepentingan, nilai sosial, dan konsep keadilan ke dalam satu ikatan hukum prismatik dengan mengambil unsur-unsur baiknya


c.       Konsepsi dan konfigurasi politik hukum di Indonesia
Menurut Mahfud MD, produk hukum yang responsif/populistik merupakan produk hukum yang mencerminakan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Sebab dalam proses pembuatanya memberikan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu dalam masyarakat dan hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat. Sedangkan produk hukum yang ortodoks/konservatif/elitis akan membentuk produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elite politik, dimana lebih mencerminakn keinginan pemerintah yang bersifat positivis-instrumentalis yakni menjadi alat pelaksanaan ideology dan program Negara. Hukum yang ortodoks tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-indovidu di dalam masyarakat yang dalam pembuatanya peranan dan partitispasi masyarakat relatif kecil[15].
Dilihat dari fungsinya, hukum yang berkarakter responsif dan bersifat aspiratif memuat materi-materi yang secara umum sesuai dengan aspirasi atau kehendak masyarakat yang dilayaninya. Sehingga sebuah produk hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dan kehendak masyarakat. Sedangkan produk hukum yang bersifat ortodoks/elitis bersifat posistivis-instrumentalis, memuat materi yang lebih merefleksikan visi sosial dan politik pemegang kekuasaan atau memuat meteri yang lebih merupakan alat untuk mewujudkan kehendak dan kepentingan program pemerintah[16].

 Mahfud MD juga menggambarkan secara gamblang menganai perjalanan politik dan hukum di indonesia dari hubungan konfigurasi politik dengan karekter produk hukum di indoensia. Lihat Tabel Matrik.[17][mohon maaf gambar blm tersedia]

Dari tabel di atas cukup jelas menggambarkan bahwa periode awal kemerdekaan yang di pimpin soekarno yang di sebut dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal membawa dampak konfigurasi politik yang demokratis dengan kecenderungan produk hukumnya lebih mengarah kepada hukum responsif, baik dari segi penyelenggaraan pemilu, pada pemerintahan daerah dan peraturan perundangan-undangan agraria.
Sedangkan pada periode kedua yakni pada periode demokrasi terpimpin konfigurasi politiknya bersifat otoriter dengan kecenderungan karakter produk hukum yang bersifat ortodoks/ responsif/ elitis, namun dalam alasan tertentu dapat bersifat responsif. Dari tabel ketiga pada periode orde baru menggambarkan konfigurasi politik bersifat otoriter dengan sistem demokrasi pancasila namun kecenderungan karakter produk hukum masih bersifat ortodoks/ responsif/ elitis karena sistem pemerintahannya hanya di jadikan sebagai perisai.
Walapun dari tabel diatas menunjukkan konfigurasi politik dengan karakter produk hukum, namun mahfud MD tidak melanjutkan dengan efektifitas hukum, sehingga masalh ini perlu ditelaah lebih lanjut mengenai fungsi hukum, karena konfigurasi politik dan produk hukum belum memiliki makna yang berarti bagi kehidupan masyarakat tanpa adanya fungsi hukum. Oleh karena itu setelah dicermati ternyata baik konfigurasi politik maupun karakter produk hukum tidak menjamin adanya efektifitas fungsi hukum. Konfigurasi politik otoriter dengan produk hukum ortodok sama-sama terjadi pada era orde lama maupun orde baru namun menunjukkan pada fungsi hukum yang berbeda-beda. Lebih dari pada itu pada orde lama produk hukum yang responsif dan pada era orde baru dengan produk hukum yang ortodok dipandang dari segi efektifitas fungsi hukum orde baru lebih efektif dari pada orde lama. [18]



PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian di atas maka penulis mengambil kesimpulan bahwa politik hukum adalah Legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.
Hukum merupakan produk politik, dengan  asumsi ini maka hukum dipandang sebagai dependent variable (variable terpengaruh), sedangkan politik di letakkan sebagai independent variable (variable berpengaruh). Peletakan hukum sebagai variable yang tergantung atas politik atau politik yang determinan atas hukum itu mudah di pahami dengan melihat realitas, bahwa pada kenyataannya hukum dalam artian sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal yang imperatif) merupakan kristalisasi dalam kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan.
Mahfud Md juga menggambarkan konfigurasi politik di indonesia yang di mulai dari awal indonesia merdeka dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal kemudian dilanjutkan demokrasi terpimpin hingga orde baru yang memiliki karakter produk hukum yang berbeda-beda, yakni produk hukum responsif, ortodok dan elitis. Dimana produk hukum tersebut masih jauh dari angan-angan cita-cita berdirinya bangsa indonesia karena pada kenyataannya fungsi hukum yang berjalan di masyarakat berbeda outputnya.

B.     Saran
Masih banyak yang harus diperbaiki dengan adanya reformasi sistem baik berupa sistem pemerintahan, sistem hukum dan budaya hukum. Jika semua terintegrasi dengan baik dan benar, maka politik hukum di indonesia akan semakin membaik dan cita-cita masyarakat indonesia yang adil dan makmur akan segera terlaksana, Wallahu A'lam.
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, karena bahan-bahan yang di dapat masih jauh dari cukup untuk membuat tulisan ilmiah, namun harapan penulis makalah ini dapat dijadikan sebagai modal untuk diskusi kelompok. Terimakasih.



Daftar Pustaka

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia Ed. Revisi, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, Cet. 6
Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta : Rajawali Pers, 2010
Sacjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. Cet ke 6. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada. 2004.
Sri Sumantri, Achmad Fauzi, Materi Kuliah Politik Hukum, Semarang : diterbitkan oleh Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945. 2013
Sri Sumantri Martosuwignjo, Pembangunan Hukum Nasional dalam Perspektif Kebijaksanaan, Makalah praseminar Identitas Hukum Nasional, di Fakultas Hukum UII Yogyakarta, tanggal 19-21 Oktober 1987
Ralf Dahrendorf, Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri, Jakarta: Rajawali, 1986
http://www.hukumsumberhukum.com/ 2014 / 06/ apa – itu – pengertian – politik - hukum.html
http://agusogick.blogspot.co.id/ 2010/03/ karakter –produk – hukum – sebagai - produk.html

http://kbbi.web.id/ diakses pada tanggal 13 juli 2016


[1] Moh. Mahfud, Politik Hukum di Indonesia Ed. Revisi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), Cet. 6, hlm. 5
[2] Ibid. Hlm. 10
[3] Di akses dalam internet http://www.hukumsumberhukum.com/2014/06/apa-itu-pengertian-politik-hukum.html#_  pada tanggal 13 juli 2016. Lihat juga dalam buku : Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2004. Dasar-dasar Politik Hukum. Penerbit PT Rajagrafindo Persada: Jakarta.
[4] Sacjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. Cet ke 6 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 352
[5] Moh. Mahfud MD, Op. Cit. Hlm. 1
[6] KBBI online diakses dari situs http://kbbi.web.id/ pada tanggal 13 juli 2016
[7] KBBI online diakses dari situs http://kbbi.web.id/ pada tanggal 13 juli 2016
[8] Sri Sumantri, Achmad Fauzi, Materi Kuliah Politik Hukum, (Semarang : diterbitkan oleh Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945. 2013) halm. 1
[9] Moh. Mahfud MD, Op. Cit. Hlm. 9-10
[10] Sri Sumantri Martosuwignjo, Pembangunan Hukum Nasional dalam Perspektif Kebijaksanaan, Makalah praseminar Identitas Hukum Nasional, di Fakultas Hukum UII Yogyakarta, tanggal 19-21 Oktober 1987, hlm 6.
[11] Ralf Dahrendorf, Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri, (Jakarta: Rajawali, 1986), hlm 238-246. Dalam catatannya dahrendorf merangkum karya dari tiga sosiolog yakni: Vilfredo, Algeimene Soziologie, yang diterjemahkan oleh Mosca, Pareto dan Aron.
[12] Produk hukum responsif/ populistik adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat.  Di akses dari internet http://agusogick.blogspot.co.id/ 2010/03/karakter-produk-hukum-sebagai-produk.html
[13]  Produk hukum ortodoks/ konservatif/ elitis adalah produk hukum yang mencerminkan visi sosial elit politik , lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat positivis instrumentalis, yakni yakni menjadi alat pelaksana ideologi dan program negara. Lihat Mahfud Md, Politik Hukum di Indonesia, Op. Cit. hal. 32
[14] Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hlm. 31
[15] Moh Mahfud,Politik Hukum…. op.cit., hlm. 31-32
[16] Ibid., hlm. 32
[17] Tabel Sri Sumantri Martosuwignjo, Op. Cit. hal 57
[18] Sri Sumantri Martosuwignjo, ibid. hal. 57

Sunday, December 13, 2015

couch mode print story

Usia Perkawinan Progresif

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat sontak menyatakan kecewa atas keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak menaikkan batas usia minimal perempuan untuk menikah dari 16 tahun ke 18 tahun.

Putusan MK terkait Permohonan Pengujian Materiil Pasal 7 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945 menjadi sangat terbuka untuk diperdebatkan (debatable).

Alasan MK memutus bahwa pasal itu masih tetap relevan, yaitu bahwa tak ada jaminan yang dapat memastikan bahwa dengan ditingkatkannya batas usia kawin untuk perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun, akan semakin mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun meminimalisasi permasalahan sosial lainnya. MK juga menolak penambahan usia nikah perempuan, karena di masa depan kemungkinan batas minimal menikah perempuan di usia 18 tahun bukanlah yang ideal.

Sebagian besar hakim MK juga berpendapat, di sejumlah negara batas usia bagi perempuan untuk menikah beraneka, mulai 17, 19, dan 20 tahun. Namun, dalam pembacaan putusan itu, ada seorang hakim konstitusi, Maria Farida Indrati, yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Maria menyatakan usia 16 tahun dalam UU Perkawinan dalam Pasal 7 Ayat 1 telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar hak-hak anak yang diatur dalam Pasal 1 Ayat 3, Pasal 24 b Ayat 2, Pasal 8 c Ayat 1 UUD 1945.

Putusan MK ini menuai kritik pegiat LSM yang menyatakan putusan itu berarti negara membiarkan adanya potensi anak perempuan mengalami kematian dan kecacatan sebagai risiko dari perkawinan dan melahirkan pada usia anak-anak. Sangat banyak anak perempuan putus sekolah, kesehatan reproduksi mereka sangat buruk, angka kematian ibu dan anak sangat tinggi. Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki tak akan pernah terjadi, kalau anak-anak perempuan terjebak dalam aturan hukum yang membolehkan mereka menjadi korban perkawinan anak-anak.

Keputusan ini juga dinilai telah mengandaskan mimpi anak Indonesia untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Bahkan, Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Sarsanto W Sarwono menyatakan keputusan MK ini bisa diartikan "negara juga berperan melegalkan praktik pedofilia".

Batasan akil balig

Menanggapi debat soal putusan MK yang bersifat final dan binding itu saya berpendapat putusan MK itu benar secara deduktif-kuantitatif, tetapi salah secara induktif kualitatif. Secara deduktif-kuantitatif dapat dikatakan pertimbangan MK lebih didominasi keterkungkungan MK secara normatif dan numerik dalam melihat perkara. MK dalam pertimbangannya, misalnya, menyatakan dalam hukum Islam tak ada batasan usia wanita atau pria untuk kawin. Yang ada hanya batasan akil balig. Usia akil balig ditandai kalau wanita telah datang bulan (haid) dan pria telah mimpi basah (mengeluarkan sperma).

Padahal, filosofi akil balig secara induktif kualitatif tak semata-mata matang secara jasmani, melainkan matang secara rohani sehingga mampu membedakan mana yang benar dan mana salah. Apakah ada jaminan setelah secara jasmani matang, akan diikuti dengan kematangan jiwa? Secara sosiologis kita dapat melihat ada budaya tertentu di Nusantara yang menuntun bagaimana orangtua mengawinkan anaknya. Sudah ratusan tahun orang Jawa, khususnya Jawa Tengah, punya prinsip kapan mereka layak mengawinkan anaknya. Mereka akan mengawinkan anaknya bila telah "kuat gawe"".

Kuat gawe diartikan secara induktif kualitatif bahwa perempuan dan laki-laki yang hendak dikawinkan telah dinilai kuat raga, kuat jiwa, dan kuat banda (harta benda). Kuat raga berarti kuat bekerja dan secara jasmani telah matang dalam berhubungan suami-istri (seksual). Kuat jiwa menunjukkan kematangan mental dalam berhubungan dengan istri, keluarga istri serta mampu bertetangga yang baik (rukun tetangga). Kuat banda, berarti mampu menjamin kelangsungan keluarga secara ekonomi, yaitu memiliki pegaweyan atau pekerjaan sebagai sumber nafkah.

Ketiga kekuatan inilah yang terus dibina orangtua zaman dulu kepada anaknya meski mereka tak mengenyam pendidikan sama sekali bahkan buta huruf. Mereka semula tak mematok angka tertentu untuk menilai apakah anaknya sudah layak kawin ataukah belum. Hingga pada 1974 karena tuntutan kepastian hukum Presiden dan DPR menetapkan batas usia wanita dan pria untuk menikah, yakni 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria melalui UU No 1/1974 tentang Perkawinan karena ketika itu dengan batas usia perkawinan seperti itu dinilai wanita dan pria telah "kuat gawe".

Tuntutan perubahan

Kini sudah 41 tahun UU No 1/ 1974 tentang Perkawinan berlaku. Dan kita sadar serta membenarkan kata Heraclitus bahwa dunia ini pantareich, bergerak, beringsut, tanpa henti. Fakta, perkembangan serta tuntutan masyarakat secara dinamis terus berubah maju secara progresif. Termasuk hukum dituntut bersifat progresif dalam menanggapi fakta, perkembangan serta tuntutan masyarakatnya. Bila tidak, hukum akan ditinggalkan bahkan dilecehkan. Mengukuhi Pasal 7 Ayat (1) dan (2) untuk tetap bersikukuh dengan angka 16 dan 19 untuk batas usia perkawinan serta menolak usulan ke angka 18 dan 20 untuk batas usia perkawinan sama artinya MK melawan adanya fakta, perkembangan, serta tuntutan masyarakat kini.

Bila MK menyatakan tak ada jaminan yang dapat memastikan bahwa dengan ditingkatkannya batas usia kawin untuk perempuan dari 16 ke 18 tahun akan kian mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun meminimalkan permasalahan sosial lain, maka dapat pula ditanyakan balik apa salahnya jika batas usia itu dinaikkan dari 16 dan 19 ke 18 dan 20? Apakah melanggar moral, etik, agama atau hukum mana yang dilanggar? Apakah perkembangan yang demikian masif di dunia pendidikan, kesehatan, serta perlindungan anak dan kesejahteraan sosial tak cukup menjadi bukti bahwa perkawinan yang dilakukan terlalu dini secara kualitatif dan prediktif telah dan akan melahirkan kualitas generasi yang lemah karena kenyataannya pada usia itu mereka belum "kuat gawe" sebagaimana filosofi sebuah perkawinan. Di sini saya menilai MK secara khusus dalam putusan ini peka dan tidak progresif.

Apalah lacur dikata, nasi telah menjadi bubur. Putusan MK telah final dan binding. Putusan yang tak dapat digugat kembali dan bersifat mengikat secara normatif. Namun, kita tak boleh putus asa. Masih ada harapan mewujudkan mimpi menyejahterakan dan mendewasakan perempuan melalui batas usia perkawinan yang lebih baik. Langkah pertama, mendorong serta mengawal lembaga legislatif untuk melakukan perubahan terhadap UU No 1/ 1974. Secara sosiologis, juga harus terus dikampanyekan kepada masyarakat untuk tak melakukan perkawinan dini kecuali dalam keadaan darurat, dan ini pun harus dilakukan seizin pengadilan.

Karut-marut di bidang pembatasan usia dewasa dalam hukum kita ini terjadi sebagai akibat kita tak memiliki the umbrella act sebagai ciri khas negara yang condong kepada sistem hukum civil law. Tengoklah sistem regulasi kita yang semrawut dan terkesan over regulation, tumpang tindih bahkan kontroversial. KUH Perdata, KUH Pidana, UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak, UU Jabatan Notaris 2014 tak mengatur batas yang sama dalam menentukan kedewasaan serta kecakapan seseorang di depan hukum. Tak kita temukan harmonisasi hukum. Kita harus pula merancang dan sesegera mungkin memiliki kitab hukum perdata buatan manusia Indonesia sehingga kita memiliki the umbrella act di bidang keperdataan yang telah disesuaikan konteks keindonesiaan.

Dari sinilah kita memiliki grand design untuk mengatur secara harmonis apa dan bagaimana usia dewasa yang "kuat gawe" itu. Untuk menjaga martabat perempuan, batas usia perkawinan mesti progresif terhadap fakta, perkembangan, serta tuntutan masyarakat. Perempuan adalah saka guru negara, buruk perempuan, negara akan ambruk dan terpuruk. Baiknya perempuan akan menjamin kemasyhuran suatu negara. Kapan lagi kita memulai melindungi perempuan dari potensi buruknya perkawinan dini, menjamin pendidikannya cukup, serta memenuhi hak- haknya untuk sejahtera. Kita hormati putusan MK, namun kita lawan pernikahan dini di usia 16 dan 19 itu. Hakim Maria yang berpendapat lain dan sendirian tak berarti salah, dan tak otomatis hakim-hakim yang mayoritas menolak penaikan batas usia perkawinan itu benar.

Boleh jadi di kemudian hari pendapat hakim Maria-lah yang terbukti benar.

Penulis :
Suteki ; Guru Besar Ilmu Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip

Sumber :
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Juni 2015, di halaman 6 dengan judul "Usia Perkawinan Progresif".

Saturday, September 26, 2015

couch mode print story

Legislasi

Monday, September 07, 2015

couch mode print story

Tentang Hakim Tunggal dan Objek Praperadilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Mengingat kembali ketika Hakim Sarpin Rizaldi yang memimpin sidang gugatan praperadilan calon Kapolri yakni Komjen Budi Gunawan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) yang menetapkannya sebagai tersangka dan kemudian mengabulkan gugatan praperadilan, hingga menimbulkan banyak pertanyaan masyarakat umum, terlebih para mahasiswa hukum.

Pada dasarnya dalam kasus Praperadilan hakim berwenang memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan; dan penetepan tersangka.

Praperadilan diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal karena pada dasarnya praperadilan diperiksa dan diputus berdasarkan acara pemeriksaan cepat, karena ini berkaitan juga dengan bentuk putusan praperadilan yang sederhana. Sifat proses praperadilan yang dilakukan dengan pemeriksaan cepat inilah yang menjadi alasan kenapa hakim praperadilan adalah hakim tunggal.
Detail Pembahasan
Objek Praperadilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Praperadilan adalah wewenang hakim untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang: [Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana “KUHAP”]
  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
 Adapun yang menjadi objek praperadilan ini diatur juga dalam Pasal 77 KUHAP yaitu:
  • Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
  • Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Namun menurut Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 21/PUU-XII/2014 telah menetapkan objek praperadilan baru yaitu sah tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.

Dalam artikel MK ‘Rombak’ Bukti Permulaan dan Objek Praperadilan, MK telah menjadikan penetapan tersangka sebagai salah satu objek praperadilan yang sebelumnya tidak ada dalam KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

 Jadi, hal apa saja yang diperiksa dan diputus oleh hakim dalam praperadilan meliputi dari ketiga poin di atas dan penetapan tersangka. Sedangkan mengenai siapa saja pihak yang dapat mengajukan praperadilan dapat Anda simak dalam artikel Praperadilan (Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP).
ISI PUTUSAN PRAPRERADILAN
Adapun isi putusan praperadilan adalah:[ Pasal 82 ayat (2) dan (3) KUHAP ]
  1. Memuat dengan jelas dasar dan alasan putusan hakim;
  2. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka;
  3. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;
  4. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;
  5. Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.

Hakim Tunggal Praperadilan

M. Yahya Harahap dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali” menjelaskan bahwa Hakim yang duduk dalam pemeriksaan sidang praperadilan adalah hakim tunggal. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 78 ayat (2) KUHAP, yang berbunyi:
“Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang panitera.”

Namun dalam hal ini saya belum menemukan bahwa KUHAP tidak menjelaskan lebih lanjut mengapa praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal. Namun, hal yang berkaitan dengan prinsip pemeriksaan dengan acara cepat yang mengharuskan pemeriksaan praperadilan selesai dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari [Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP] dan bentuk putusan praperadilan yang sederhana. Hal ini bisa diwujudkan jika diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal.

Agar dapat dipenuhi proses pemeriksaan yang cepat [Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP], yang mana KUHAP memerintahkan pemeriksaan praperadilan dengan acara cepat dan selambat-lambatnya hakim harus menjatuhkan putusan.

Dasar hukum:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Referensi:
Harahap, Yahya. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar Grafika.
Putusan:
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014.



Baca Artikel Lainnya :
Hukum Pidana ; Hukum adalah Perintah
Pengertian Hukum Pidana dan Sejarah

Sunday, June 28, 2015

couch mode print story

SUMBER-SUMBER HUKUM TATANEGARA

PENGANTAR

Tata Negara berarti sistem penataan negara yang berisi ketentuan mengenai struktur kenegaraan dan mengenai substansi norma kenegaraan. Dengan perkataan lain, ilmu Hukum Tata Negara dapat dikatakan merupakan cabang ilmu hukum yang membahas mengenai tatanan struktur kenegaraan, mekanisme hubungan antar struktur-struktur organ atau struktur kenegaraan, serta mekanisme hubungan antara struktur negara dengan warga negara.

Di dalam studi hukum tata negara itu sebenarnya ada pula cabang ilmu yang melakukan telaah perbandingan antar berbagai konstitusi yaitu hukum tata negara perbandingan atau ilmu perbandingan hukum tata negara. Di sisi lain tentunya hukum tata negara bersifat tertulis yang merupakan sumber-sumber hukum tata negara.

Sumber-sumber hukum tata negara memiliki banyak arti, tergantung dari sudut mana seseorang ahli hukum melihatnya, untuk itu seorang ahli sejarah memiliki arti yang berbeda dengan seorang ahli sosiologi, demikian pula berbeda dengan ahli ekonomi. Menurut bangir manan dalam bukunya “konversi ketatanegaraan “ di dalam menelaah dan mempelajari sumber hukum memerlukan kehati-hatian karena istilah sumber hukum mengandung berbagai pengertian. Tanpa kehati-hatian dan kecermatan dengan apa yang dimaksud sumber hukum akan menimbulkan kekeliruan bahkan kesesatan.

Adapun untuk mengetahui sumber-sumber hukum terlebih dahulu harus ditentukan dari sudut mana sumber-sumber hukum itu dilihat, sehingga L.J. Van Apeldoorn menyatakan bahwa perkataan sumber hukum dipakai dalam arti sejarah, kemasyarakatan, filsafat dan arti formal. Dengan demikian, dapatlah dirumuskan sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan yang mengikat dan memaksa, “sehingga apa bila itu dilanggar akan menimbulkan sangsi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya”.

PERMASALAHAN

pada makalah ini penulis akan menguraikan beberapa permasalahan yang menyangkut sumber-sumber hukum tata negara, antara lain yaitu :
  1. sedikit membahas apa itu Hukum Tata Negara ?
  2. Apa Pengertian Sumber Hukum ?
  3. Apa saja Sumber Hukum Tata Negara ?

Sumber - Sumber Hukum Tata Negara

  • Hukum tata negara
Istilah “hukum tata negara” merupakan hasil terjemahan sari perkataan bahasa belanda yakni staatsrecht.  Pengertian hukum tata negara menurut Van Vollenhoven menerangkan bahwa hukum tata negara itu adalah semua kaidah hukum yang bukan hukum tata negara material, bukan hukum perdata material, dan bukan hukum pidana material.  Jadi, hukum tata negara mengatur semua masyarakat hukum atasan dan masyarakat hukum bawahan menurut tingkatannya dan dari masing-masing itu menentukan wilayah lingkungan rakyatnya dan akhirnya menentukan badan-badan dan fungsinya masing-masing sehingga yang berkuasa dalam lingkungan masyarakat, hukum di sana serta menentukan susunan dan wewenangnya dari badan-badan tersebut.
  • Pengertian Sumber-sumber hukum
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang berupa tulisan, dokumen, naskah, dsb, yang dipergunakan oleh suatu bangsa sebagai pedoman hidupnya pada masa tertentu. Menurut Prof Tjipto Rahardjo “Sumber yang melahirkan hukum di golongkan dari dua kategori, yaitu sumber-sumber yang bersifat hukum dan yang bersifat sosial.  Sumber yang bersifat hukum merupakan sumber yang diakui oleh hukum sendiri sehingga secara langsung bisa melahirkan atau menciptakan hukum.
  • Macam-macam sumber hukum
Istilah sumber-sumber hukum mempunyai arti yang bermacam-macam tergantung dari mana seorang ahli hukum melihatnnya. Menurut Utrecht mengenai sumber hukum dapat dibagi dalam arti formal dan materiel.
sumber hukum materiel adalah faktor-faktor masyarakat yang mempengaruhi terbentuknya hukum (pengaruh terhadap pembuatan undang-undang, pengaruh terhadap putusan hakim, dan sebagainya), faktor-faktor yang mempengaruhi materi (isi) dari aturan-aturan hukum atau tempat dari mana hukum itu diambil.  Sehingga sumber-sumber hukum materiel dapat ditinjau dari berbagai sudut. Misalnya, dari sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat dan sebagainya.

Contohnya :

  • Seorang ahli ekonomi akan menyatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan ekonomi dalam masyarakat itulah yang menyebabkan timbulnya hukum.
  • Seorang ahli kemasyarakatan (sosiologi) akan menyatakan bahwa yang menjadi sumer hukum ialah peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.
Sumber hukum dalam arti formal terbagi antara lain :
1. Undang-undang (statute),
2. Kebiasaan (costum),
3. Keputusan-keputusan hakim (yurisprudensi)
4. Traktat (treaty),
5. Pendapat sarjana hukum (doktrin).

1. Undang-undang (statute)

Hukum perundang-undang adalah suatu peraturan atau keputusan negara yang tertulis dibuat oleh alat perlengkapan negara yang berwenang (bersama-sama DPR dan Presiden) dan mengikat masyarakat.  Menurut Buys, undang-undang mempunyai dua arti,yakni :
  1. Undang-undang dalam arti formal: ialah setiap keputusan pemerintah yang merupakan undang-undang karena perbuatannya. Misal, dibuat oleh pemerintah bersama-sama parlement.
  2. Undang-undang dalam arti material: ialah setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk.
Adapun urutan perundang-undang republik indonesia TAP MPR No.III/MPR/2000 yang semula TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 dan MPR No.IX/MPR/1978 adalah sebagai berikut :
1. undang-undang dasar 1945
2. ketetapan MPR-RI
3. undang-undang
4. peraturan pemerintah pengganti undang-undang
5. peraturan pemerintah
6. keputusan presiden
7. peraturan daerah.
Jadi jika dikaitkan dengan tata urutan peraturan perundang-undanga di Indonesia berdasarkan TAP MPR No. III/MPR/2000 dirumuskan.


2. Kebiasaan (costum)

Kebiasaan dapat diartikan perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, merupakan suatu bukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut, jadi kebiasaan adalah suatu perbuatan adalah suatu perbuatan orang secara tetap. Menurut Merto Kusumo, bahwa kebiasaan dapat menjadi hukum diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :
  1. Syarat materil: adanya kebiasaan atau tingkah laku yang tetap atau diulang, yaitu suatu rangkaian perbuatan yang sama, yang berlangsung dalam waktu yang lama (long et invetarata cosuetudo)
  2. Syarat intelektual: kebiasaan itu harus menimbulkan opinio necessitatis (keyakinan umum) bahwa perbuatan itu merupakan kewajiban hukum
  3. Adanya akibat hukum apabila hukum kebiasaan itu dilanggar.
Hukum kebiasaan terdapat kelemaha-kelemahan, sebab tidak dirumuska secara jelas dan pada umumnya sukar digali, karena tidak tertulis. Disamping itu, juga bersifat beranekaragam sehingga tidak menjamin kepastian hukum dan sulit untuk beracara.

3. Keputusan-keputusan hakim (yurisprudensi)

Istilah yurisprudensi berasal dari bahasa latin yaitu jurisprudentia yang berarti pengetahuan hukum. Yurisprudensi menurut C.S.T.Kansil adalah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama.  Adapun seorang hakim mempergunakan putusan hakim lain disebabkan oleh berbagai pertimbangan. Antara lain, pertimbangan pisikologis, pertimbangan praktis, pertimbangan pendapat yang sama. Selanjutnya yurisprudensi terbagi atas dua macam yakni:
  1. Yurisprudensi tetap, yakni keputusan hakim karena rentetan keputusan yang sama dan dijadikan dasar atau patokan untuk memutuskan suatu perkara (standard arresten). Standar adalah dasar atau baku, arresten adalah keputusan mahkamah agung.
  2. Yurisprudensi tetap, yaitu (keputusan hakim) yang terdahulu yang belum masuk menjadi yurisprudensi tetap (standard arresten).
4. Traktat (treaty)

Traktat atau perjanjian internasional ialah persetujuan yang diadakan oleh indonesia dengan negara-negara lain, di dalam indonesia telah mengikat diri untuk menerima hak-hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian yang diadakan itu, traktat merupakan sumber hukum yang penting. Untuk itu, tidak cukup traktat atau perjanjian yang ditandatangani oleh indonesia, namun harus pula diratifikasi (mendapatkan pengesahan) sebelum perjanjian tiu mengikat. Disamping traktat ada perjanjia internasional biasa yang diadakan pemerintah atau badan eksekutif (eksekitive agreement) dengan pemerintah lain dengan tidak memerlukan pengesahan.

5. Pendapat sarjana hukum (doktrin)

Doktrin sebagai sumber hukum formil yakni pendapat para sarjana hukum yang terkemuka yang besar pengaruhnya terhadap hakim, dalam mengambil keputusan.
Menurut Prof. Dr. Sudikno M.SH. doktrin adalah pendapat para sarjana hukum yang merupakan sumber hukum te-mpat hakim yang dapat menemukan hukumnya. Seringkali terjadi hakim dalam keputusannya menyebut pendapat sarjana hukum, sebagai dasar pertimbangan untuk memutuskan perkara tertentu. Dengan demikian dapat dkatakan bahwa hakim menemukan doktrin dalam doktrin itu. Doktrin yang demikian adalah sumber hukum , ialah sumber hukum formil.




DAFTAR PUSTAKA
  • Ishaq. Dasar-dasar Ilmu Hukum. Jakarta, Sinar Grafika, 2007
  • Huda Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 2006
  • C.S.T.Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta, Bina Aksara, 1986
  • C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1982
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum